Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Mbringin, terdapat sebuah hutan karet tua yang sudah lama ditinggalkan. Warga menyebutnya Hutan Karet Mbringin. Konon katanya, sejak puluhan tahun lalu, hutan itu dihuni oleh sesosok kuntilanak yang menjerit setiap malam Jumat Kliwon.
Rina, seorang mahasiswi dari kota, datang ke desa itu untuk melakukan penelitian tentang getah karet. Meski sudah diperingatkan oleh warga untuk tidak masuk ke hutan saat malam hari, rasa penasarannya lebih besar daripada rasa takutnya.
Sore itu, Rina masuk ke hutan seorang diri. Pohon-pohon karet menjulang tinggi dan menciptakan bayangan gelap di antara sinar matahari yang mulai meredup. Saat sedang memotret pohon-pohon tua, terdengar suara tawa kecil… lirih, melengking, namun jelas.
“Hehehe….”
Rina terdiam. Ia menoleh ke sekeliling, namun tidak melihat siapa-siapa. Ia mengira hanya suara hewan malam, lalu melanjutkan pekerjaannya. Namun, semakin ia masuk ke dalam, suasana terasa semakin aneh. Udara menjadi dingin. Aroma anyir darah mulai tercium.
Tiba-tiba, kamera di tangannya mati. Layarnya gelap.
“Hei, ada orang?” teriak Rina panik.
Tidak ada jawaban.
Namun, dari antara pohon, muncul sesosok perempuan berpakaian putih, rambut panjang menutupi wajahnya. Tubuhnya melayang perlahan, dan dari balik rambut itu, muncul senyum lebar dengan gigi tajam dan mata merah menyala.
Kuntilanak itu berbisik, “Kenapa kau masuk… ke wilayahku…?”
Rina menjerit. Ia berlari sekencang mungkin, namun jalan keluar seperti hilang. Semua tampak sama. Setiap arah hanya pohon karet dan kabut tebal.
Sampai akhirnya... keesokan paginya, warga menemukan Rina tergeletak di pinggir hutan, matanya kosong, wajahnya pucat, dan ia tak mampu berbicara sepatah kata pun.
Kini, setiap malam Jumat Kliwon, terdengar dua tawa lirih dari hutan karet Mbringin — satu tinggi dan melengking, satu lagi lebih pelan... seolah ada dua sosok yang telah menjadi bagian dari kegelapan hutan itu.
Komentar
Posting Komentar